Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis.
Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.
Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Meski pelaksanaan tarif baru berlangsung per 1 April 2012, faktanya harga sembako saja sudah naik. Di PD Pasar Jaya Jakarta (per 16 Maret 2012), kenaikan harga mencapai satu sampai 30 persen dari harga semula. Contoh: Gula pasir naik menjadi Rp 10.800/kg dari 10.900, daging sapi naik menjadi 79.223/kg dari Rp 78.329/kg, cabai mereh naik 30 persen menjadi Rp 25.867/kg, minyak goreng naik menjadi Rp 11.240/kg dari Rp 10.819/kg.
Beberapa komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp 10.000 per liter sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.
Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya.
Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha transportasi tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha transportasi. Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan (semi proletar) karena akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka.
Di sektor industri khususnya kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibatnya meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan.
Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.
Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan buruh.
Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.
Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.
Contoh, di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4000 per karung (20 kg) dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10 juta/hektar per tahun.
Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti. Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.
Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.
Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim meraca terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitasnya dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara.
Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal sehingga meningkat angka putus sekolah.
Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tak menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM
SUMBER : http://fprsatumei.wordpress.com/2012/03/22/materi-propaganda-fpr-menolak-kenaikan- harga-bbm/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar